Mengenal Computational Thinking (Berpikir Komputasi) (Part 2)

 

Sejarah Istilah “Computational Thinking”

Istilah “computational thinking” pertama kali digunakan dalam konteks pendidikan matematika pada tahun 1967, berhubungan dengan bahasa pemrograman Logo yang dikembangkan oleh Seymour Papert, Cynthia Solomon, dan Wally Feurzeig. Pada masa itu, tujuan utama pemrograman adalah memahami cara kerja bahasa komputasi, dengan fokus awal pada pengembangan cara berpikir anak-anak mengenai "bagaimana" dan "mengapa" mereka memprogram.

Papert dan timnya melakukan eksperimen untuk menganalisis bagaimana anak-anak mengendalikan pergerakan robot menggunakan instruksi dari bahasa Logo. Robot tersebut dilengkapi pena yang dapat menggambar jalurnya di atas kertas, menghasilkan bentuk-bentuk geometris, misalnya.

Melalui eksperimen ini, Papert dan timnya mengembangkan teori pembelajaran yang disebut Konstruksionisme (Constructionism), yang merupakan cabang dari konstruktivisme Piaget. Secara umum, pendekatan ini menganggap siswa mampu membangun pengetahuan mereka sendiri melalui "tindakan", menciptakan objek konkret yang dapat dibagikan dengan bimbingan guru (Papert, 1985).

Implementasi Awal di Brasil

Pada tahun 1980, eksperimen dengan bahasa Logo dilakukan di Brasil di bawah bimbingan peneliti seperti José Armando Valente dan Léa Fagundes, bekerja sama dengan sistem pendidikan negeri dan swasta. Namun, konstruksionisme dan bahasa pemrograman Logo tidak mendapat perhatian luas dalam praktik sekolah. Hal ini disebabkan, antara lain, keterbatasan laboratorium di sekolah dan model penggunaan komputer (Valente, 1996).

Pergeseran Fokus pada 1990-an

Pada 1990-an, perhatian utama para peneliti beralih ke pertanyaan: untuk apa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) digunakan? Fokus pada periode ini bukan pada pemrograman itu sendiri, melainkan pada penerapan alat-alat yang sudah tersedia. Akibatnya, istilah “computational thinking” dan bahasa yang terkait dengannya kehilangan daya tarik di bidang pendidikan matematika, digantikan oleh internet dan berbagai aplikasi lainnya. Namun, para ilmuwan komputer tetap mempelajari tema ini sebagai area kajian tersendiri.

“Computational Literacy” dan Perspektif Baru

Menurut diSessa (2000), komputer dapat menjadi dasar teknis bagi jenis literasi baru, yang ia sebut sebagai “computational literacy”. Berbeda dengan “computer literacy”, computational literacy merujuk pada penggunaan komputer secara alami sesuai dengan kebutuhan pribadi dan profesional yang terus berkembang.

Melalui proses ini, komputer menjadi alat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sekaligus berguna untuk mengembangkan bahasa dan konsep lainnya. Dalam perspektif ini, Blikstein (2008) mengusulkan bahwa konsep-konsep ilmiah dan matematis, misalnya, dapat disederhanakan melalui representasi simbolik dan bahasa komputasi.

Relevansi dalam Pendidikan Matematika

Akibatnya, TIK memperoleh fungsi dan perspektif baru dalam pendidikan matematika. Peneliti mulai menganalisis pentingnya merefleksikan di sekolah tentang "bagaimana" dan "mengapa" kita menggunakan TIK tertentu untuk mencapai tujuan dan tindakan sehari-hari. Argumen ini semakin mendapat perhatian melalui artikel yang diterbitkan oleh Jeanette Wing pada tahun 2006. Dalam artikelnya, Wing menyoroti pentingnya berpikir dengan teknologi, bukan hanya menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Royal Society (2012, hlm. 29) mendeskripsikan computational thinking sebagai "proses mengenali aspek-aspek komputasi di dunia yang mengelilingi kita dan menerapkan alat serta teknik ilmu komputer untuk memahami dan menganalisis sistem dan proses alam maupun buatan."

Definisi-definisi ini bersifat operasional, tetapi menunjukkan bahwa pemahaman computational thinking erat kaitannya dengan "mengembangkan pendekatan computational thinking yang sesuai untuk siswa K-12," seperti yang dinyatakan dalam laporan Computer Science Teachers Association (CSTA) (Seehorn, 2011, hlm. 10).

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Italia, meskipun belum ada konsep spesifik yang terkait dengan computational thinking, relevansi pengembangan pola pikir ini dalam pendidikan telah banyak diteliti. Beberapa publikasi mengakui manfaat dan cakupan pendidikan yang dapat diberikan oleh pola pikir ini (Barr & Stephenson, 2011; Denning, 2009; Hu, 2011; Wing, 2006, 2008, 2011).

Dalam penelitian pustaka yang bertujuan mendefinisikan pendekatan terhadap istilah computational thinking, ditemukan bahwa meskipun telah ada berbagai studi yang menjelaskan pentingnya pola pikir ini dalam pendidikan, istilah tersebut masih belum memiliki definisi atau pendekatan yang seragam dalam seluruh karya ilmiah. Dalam beberapa penelitian, computational thinking sepenuhnya terkait dengan ilmu komputer. Namun, dalam studi seperti yang diusulkan oleh Wing (2006, 2011), terdapat upaya untuk memisahkan computational thinking dari eksklusivitas ilmu komputer. Dengan fokus yang berbeda, penelitian ini bertujuan untuk mengintegrasikan pengembangan pola pikir ini dalam pendidikan. Dengan demikian, pemrograman, yang dulunya merupakan bagian mendasar dari computational thinking, tidak lagi menjadi fitur yang paling signifikan seperti pada bahasa "Logo".

Menghadapi tantangan dalam mendefinisikan dan membangun konsep computational thinking yang umum, CSTA dan International Society for Technology in Education (ISTE) mengusulkan sembilan konsep esensial yang terkait dengan computational thinking, yaitu: pengumpulan data, analisis data, representasi dan analisis data, dekomposisi masalah, abstraksi, algoritma dan prosedur, otomasi, paralelisasi, dan simulasi (CSTA, 2011).

Meskipun telah ada banyak upaya untuk mendefinisikan istilah ini, belum ada konsensus konseptual tentang apa sebenarnya computational thinking itu. Meskipun istilah ini telah dimasukkan dalam kurikulum beberapa negara yang dimana semua referensi terhadap istilah tersebut hanya ditemukan dalam konteks matematika.

Terus, bagaimana penerapan di Indonesia? Tentunya juga ada! Karena, berpikir komputasi berkaitan dengan matematika dan pastinya akan diterapkan dari Sabang sampai Merauke. Kapan Waktunya? kita tunggu saja dan akan di bahas dalam tulisan mendatang.


Referensi

Eloisa Rosotti Navarro  & Maria do Carmo de Sousa. 2023. The concept of computational thinking in mathematics education 



4 Komentar

  1. Nama : lsdiana Susilowati Ibrahim
    Npm : 2386206058
    Kelas : VB PGSD

    Izin menanggapi materi di atas pak menurut saya materi ini sangat bagus karena melatih cara berpikir anak dan cara bagaimana anak anak dapat memahami setiap langkah yang mereka kerjakan dan bagaimana mana mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.
    Pertanyaan saya pak mengapa pemrograman Logo dianggap penting dan mengapa pembelajarannya difokuskan pada anak-anak.
    Menurut saya pak, hal ini sangat susah karena pemrograman ini berkaitan dengan logika dan cara yang cukup rumit. Bagaimana anak-anak, khususnya di jenjang sekolah dasar, dapat memahami konsep tersebut.dan bagaimana cara penerapan pemrograman ini bisa diterapkan di tingkat SD🙏

    BalasHapus
  2. Nama : Oktavia Ramadani
    Npm : 2386206086
    Kelas : 5D

    Materi ini memberikan gambaran yang sangat menarik tentang bagaimana sih konsep berpikir itu berkembang dari masa ke masa .

    Ternyata berpikir komputasi bukan sekedar belajar coding atau pemerograman saja tetapi juga gimana cara berpikir sistematis untuk memecahkan masalah , saya tertarik pada bagian yang menjelaskan bagaimana pada istilah computational thingking sempat kehilangan fokus ketika perhatian beralih ke penggunaan teknologi yang lebih praktis dari pada abad tahun 1990 an , namun pemikiran jeanette wing bisa menghidupkan kembali ide - ide bahwa teknologi itu seharusnya tidak hanya digunakan saja tetapi juga bisa dipahami secara mendalam melalui proses berpikir yang komputasional , ya ini bukan hanya sekedar memakai alat digital saja tetapi memahami Logika di balik cara alat itu untuk bekerja.

    Penerapan berpikir komputasi ini memang belum banyak yang paham secara utuh tentang berpikir komputasi ya memang akan menjadi tantangan , berpikir komputasi ini bisa sekali menjadi jembatan untuk memiliki kemampuan kreatif siswa , saya berharap ya dapat di terapkan di dunia pendidikan secara luas .

    BalasHapus
  3. Saya telah membaca laman yang memiliki tema sama yaitu mengenal computational thinking part 1 dan sekarang ketemu part 2, dari sini kita belajar bahwa mengemukakan teori atau temuan membutuhkan waktu yang sangat panjang, malahan sudah melewati waktu yang panjang pun belum bisa menetukan akhir atau final nya dari computational thinking ini. Benar-benar istilah yang belum bisa dipecahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada laman ini saya tertarik dengan subtopik relevansi dalam pendidikan matematika, khusunya pada bagian peneliti mulai menganalisis pentinya merefleksikan kata bagaimana dan mengapa disekolah kenapa ? menurut saya merefleksikan kata bagiamana ini memiliki banyak arti ketika kita bertanya pada diri sendiri, misalnya bagaimana hal ini dapat terjadi, bagaimana cara saya memahami materi,bagaimana saya dapat menyelesaikan masalah ini. Dan sangat erat keterkaitannya dengan kata mengapa, seperti mengapa hal ini terjadi, mengapa saya harus memahami materi, dan mengapa saya harus menyelsaikan ini.

      Tanpa kita sadari dengan 2 kata ini bisa membuat kita sadar, membuat diri kita berpikri akar permaslahan dan penyelsaian permasalahan. ini sangat baik diterapkan akan dapat menjadi pukulan tersendiri bagi peserta didik yang susah diatur.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak